Suku Bali Aga
Mengenal Suku Bali Aga
Suku Bali Aga adalah salah satu subsuku bangsa Bali yang menganggap mereka sebagai penduduk bali yang asli. Sebelum dibanjiri suku pendatang yakni suku Majapahit, Pulau Bali telah lama didiami oleh suku Bali Mula yang merupakan istilah yang lebih populer untuk suku Bali Aga.Bali Aga disebut dengan Bali pegunungan yang mana sejumlah suku Bali Aga terdapat di Desa Trunyan. Istilah Bali Aga dianggap memberi arti orang gunung yang bodoh karena mereka berada didaerah pegunungan yang masih kawasan pedalaman dan belum terjamah oleh teknologi.
Asal-Usul
Diperkirakan yang jadi cikal bakal manusia yang menempati pulau Bali merupakan bangsa Austronesia terbukti dari peninggalan yang tersebar di Bali seperti alat batu kapak persegi. Bangsa Austronesia berasal dari daerah Tonkin, Cina yang dalam perjalananya kemudian mengarungi laut yang sangat luas dengan kapal bercadik pada tahun 2000 sebelum Masehi.
Bangsa Austronesia mempunyai kreasi seni yang sangat tinggi.
Terlihat dari hiasan-hiasan nekara serta sarkofagus , peti mayat lengkap dengan
bekal kuburnya yang masih tersimpan rapi di Bali. Bangsa ini mempunyai
kehidupan yang teratur serta membentuk suatu persekutuan hukum yang dinamakan
thana atau dusun yang terdiri dari beberapa thani atau banua. Hal inilah yang
diperkirakan menjadi cikal-bakal desa-desa di Bali. Bangsa ini juga yang
kemudian menurunkan masyarakat asli pulau Bali yang disebut Orang Bali Mula
atau ada juga yang menyebut Bali Aga.
Waktu itu orang-orang Bali Mula belum mempunyai agama.
Mereka hanya menyembah leluhur yang di sebut Hyang. Untuk segi spiritual mereka
masih hampa, ini terjadi sampai abad ke empat sesudah masehi. Melihat pulau
Bali yang masih tertinggal maka penyiar Agama Hindu mulai berdatangan ke pulau
ini. Di samping untuk mengajarkan agama juga ingin memajukan Bali dalam segala
hal. Maka muncullah seorang Resi ke Bali yang bernama Resi Maharkandya yang
berasal dari India.
Sebutan Maharkandya merupakan bukan nama perorangan tetapi
nama suatu perguruan yang mempelajari serta mengembangkan ajaran-ajaran
gurunya. Resi Maharkandeya menolak semua marabahaya yang menhalangi setelah
diberikan petunjuk dari Tuhan Yang Maha Esa untuk melaksanakan upacara
penanaman lima logam yang disebut panca datu di daerah Wasuki yang berkembang
menjadi Basuki yang berarti keselamatan. Hal ini merupakan awal mula kehidupan
harmonis antara masyarakat pendatang (agama Hindu) berdampingan dengan orang
Bali Mula yang merupakan penduduk asli pulau Bali.
Di wilayah Basuki ini akhirnya dibuat sebuah pura yang
terbesar se Asia Tenggara yaitu Pura Besakih. Di saat kerajaan Majapahit
runtuh, pemeluk agama Hindu terdesak dengan datangnya agama Islam yang
menduduki pulau Jawa yang membuat pindah ke pulai Bali untuk menghindar harus
menghindar. Semakin banyak masayrakat Jawa akhirnya tinggal serta mengembangkan
agama Hindu sampai begitu pesat di Pulau Bali.Perkembangan Penduduk
Masyarakat Bali Aga yang sampai saat ini masih taat memegang
adat dan istiadat terdapat di beberapa desa dan salah satunya adalah Desa
Tenganan dan Desa Trunyan. Berdasarkan beberapa penelitian, masyarakat yang
tinggal di Desa Tenganan adalah suku asli Bali yang tetap mempertahankan pola
hidup tradisional sampai saat ini. Ketaatan masyarakat pada aturan tradisional
desa yang diwariskan nenek moyang mereka secara turun temurun menjadi sebuah
benteng kokoh dari pengaruh luar.
Keberadaan Desa Tenganan dan Desa Trunyan sebagai sebuah desa adat berusaha melestarikan nilai-nilai leluhur Bali yang telah diwariskan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Kedua desa tersebut, sebagai masyarakat Bali asli, sangat berbeda dengan masyarakat Bali pada umumnya, yaitu masyarakat Bali yang sudah terpengaruh pada saat Majapahit menguasai Bali.
Keberadaan Desa Tenganan dan Desa Trunyan sebagai sebuah desa adat berusaha melestarikan nilai-nilai leluhur Bali yang telah diwariskan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Kedua desa tersebut, sebagai masyarakat Bali asli, sangat berbeda dengan masyarakat Bali pada umumnya, yaitu masyarakat Bali yang sudah terpengaruh pada saat Majapahit menguasai Bali.
Kini, antara Bali Aga dengan wong Majapahit hidup berdampingan, sama-sama menjaga nilai dan kepercayaan masing-masing. Mereka tinggal di Pulau Bali secara damai, tidak saling mencurigai, dan saling menghormati satu sama lain. Mereka berada dalam satu pulau dan satu negara, Indonesia.
Faktor Demografi
Gunung dan Danau Bantur |
Bahasa
Penduduk Bali Aga menggunakan dialek Bahasa Bali mereka
sendiri. Bahasanya pun berbeda antara satu desa dengan desa lainnya, misalnya
yang digunakan penduduk desa Tenganan berbeda dengan desa Trunyan.
Ekonomi
Dulu warga bersandar pada hutan dan sawah sebagai mata pencaharian mereka. Namun, seiring berkembangkan jaman, saat ini mereka sudah diperbolehkan untuk sekolah di luar desa dan bekerja di luar desa dengan tetap menjabat sebagai anggota Dewan di desa. Nah, sebagai anggota Dewan, mereka juga digaji berdasarkan hasil penjualan sawah warga.
Kebudayaan
Suasana desa yang ditempati Suku Bali Aga menjelang Galungan |
Masyarakat Bali Aga yang sampai saat ini masih taat memegang
adat dan istiadat terdapat di beberapa desa dan salah satunya adalah Desa
Tenganan. Berdasarkan beberapa penelitian, masyarakat yang tinggal di Desa
Tenganan adalah suku asli Bali yang tetap mempertahankan pola hidup tradisional
sampai saat ini. Ketaatan masyarakat pada aturan tradisional desa yang
diwariskan nenek moyang mereka secara turun temurun menjadi sebuah benteng
kokoh dari pengaruh luar.
Desa Tenganan
Masyarakat Desa Tenganan
Menurut beberapa versi catatan sejarah dan penafsirannya,
kata tenganan berasal dari kata tengah atau ngatengahan yang memiliki arti
“bergerak ke daerah yang lebih dalam”. Kata tersebut berhubungan dengan
pergerakan masyarakat desa dari pinggir pantai ke daerah pemukiman di tengah
perbukitan, yaitu Bukit Barat (Bukit Kauh) dan Bukit Timur (Bukit Kangin).
Kehidupan sehari-hari masyarakat Tenganan diatur oleh hukum
adat yang disebut awig-awig. Hukum adat tersebut diperkirakan ditulis pada abad
ke-11 dan diperbaharui tahun 1842. Rumah adat Tenganan dibangun dari campuran
batu bata merah, batu kali, dan tanah; atapnya terbuat dari tumpukan daun
rumbia. Rumah-rumah tersebut memiliki bentuk dan ukuran relatif sama, dengan
ciri khas pintu masuk lebarnya berukuran satu orang dewasa. Ciri khas lain
adalah bagian atap pintu menyatu dengan atap rumah.
Desa lainnya yang terkenal sebagai salah satu masyarakat
Bali Aga adalah masyarakat Desa Trunyan. Desa Trunyan terletak di pinggir timur
Danau Batur, letaknya cukup terpencil karena hanya bisa ditempuh dengan
menyeberangi Danau batur. Pada zaman Kerajaan Badahulu, daerah Danau Batur
terkenal sebagai lokasi masyarakat Bali Aga; bahkan pada saat Majapahit menyerang
kerajaan Badahulu, daerah tersebut sangat gencar melakukan perlawanan. Setelah
Majapahit berhasil menundukkan raja terakhir Badahulu dan Gajah Mada mengirim
Sri Kresna Kapakisan sebagai Raja di Badahulu yang baru, daerah Danau Batur
terkenal sebagai salah satu pusat perlawanan terhadap kekuasaan Majapahit di
Bali.
Pada saat sekarang, penduduk di Danau Batur di Desa Trunyan
terkenal sebagai masyarakat Bali Aga. Mungkin yang melakukan perlawanan
terhadap kekuasaan Majapahit di Bali pada saat pemerintahan Sri Kresna
Kapakisan adalah masyarakat Trunyan, karena pada saat sekarang daerah Danau
Batur ada desa Trunyan yang merupakan masyarakat Bali Aga dan yang melakukan
perlawanan terhadap kekuasaan Majapahit juga adalah masyarakat Bali Aga. Bali
Aga sendiri memiliki arti “penduduk asli Bali” atau “Bali pegunungan”. Penduduk
Desa trunyan meyakini dirinya sebagai Bali turunan, sejak leluhur mereka turun
dari langit ke bumi Trunyan. Nama Desa Trunyan juga bisa diartikan dengan pohon
Tru Menyan yaitu pohon yang menyebarkan bau harum.
Desa Trunyan
Desa Trunyan ini memiliki banyak keunikan. Salah satunya
adalah kebiasaan penduduk setempat dalam menguburkan mayat. Masyarakat Desa
Trunyan, tidak seperti penduduk Bali kebanyakan yang melakukan upacara ngaben
dengan membakar mayat, meletakkan mayat
begitu saja di suatu tempat. Mayat-mayat tersebut dipagari ancak saji
yang terbuat dari bambu berbentuk kerucut untuk menghindari serangan binatang
buas. Peletakan mayat tersebut hanya
berlaku untuk mereka yang meninggalnya secara wajar. Sedangkan penduduk yang
meninggal karena kecelakaan, bunuh diri, terdapat luka atau anak kecil yang
belum tanggal gigi susunya, tetap dikubur seperti penguburan mayat pada
umumnya.
Kepribadian
Hingga saat ini, pranata-pranata feodal seperti penggunaan nama, kategorisasi sosial berdasarakan keturunan dan strata bahasa masih ditemukan pada masyarakat Bali Majapahit. Bahkan stigmatisasi terhadap orang Bali Aga sebagai orang yang masih belum beragama Hindu secara ‘penuh’ masih kerap ditemukan dikalangan orang Bali Majapahit. Dan pada saat yang bersamaan pula, masyarakat Bali Aga tetap mempertahankan karakteristik pribadi yang egaliter, demokratis dan sosialistis.Bali Aga, Terpinggirkan atau Disucikan?
Trunyan dan Tenganan adalah Bali Aga yang masih bernyawa
hingga kini. Lantas, apa sesungguhnya Bali Aga? Apa hanya layak dipautkan pada
dua wilayah Bali ini saja?
Dalam buku Custodians of The Sacred Mountains oleh Thomas A.
Reuter dijelaskan bahwa Bali Aga mengacu pada penduduk pegunungan Bali, jauh
dari wilayah politis maupun perkotaan. Lebih buruknya, Bali Aga sering disebut
sebagai bangsa yang jauh dan terpinggirkan.
Bali Aga disebut pula Bali Muna dan bali Kuna, yang secara
harfiah diterjemahkan sebagai orang Bali asli atau kuno. Hingga, perjalanan ke
wilayah Bali Aga dikaitkan sebagai perjalanan menuju masa lampau.
Namun, perlu diketahui pula, masyarakat Bali meyakini daerah
pegunungan merupakan daerah suci. Pegunungan sebagai tempat tinggal dewa-dewi
yang jauh dan suci dalam kosmologi Bali. Pegunungan juga bertindak sebagai
sumber air bagi kegaiatan masyarakat seperti persawahan.
Sehingga, konotasi Bali Aga, Bali Muna, maupun Bali Kuna
menimbulkan kontras. Di satu sisi melukiskan budaya primitif dan penduduk
terbelakang yang tertinggal dalam jalur evolusi sosial masyarakat Bali lainnya
yang dinilai lebih progresif dan beradab. Sementara, sisi lainnya,
menggambarkan sebuah citra penciptaan mistis dan asal usul Bali suci.
Berkembang kemudian, tak dapat ditampik bahwa persepsi
populer mengenai Bali oleh barat masih lah hanya memuat Bali Selatan. Tanpa
menyisipi adanya kehidupan Bali Aga. Seolah Bali hanya mengenai gemerlap
kerajaan, kemilau pantai, maupun pohon kelapa semampai.
Komentar
Posting Komentar